Nama : Rika Andriyanie
Npm : 2A213143
Kelas : 4EB21
Dosen : Dini Yarti
Matkul : Akuntansi Internasional
Perpajakan Internasional
Pengertian Perpajakan Internasional - Pajak internasional adalah
hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa
kaedah-kaedah nasioal maupun kaedah yang berasal dari traktat
antarnegara dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh Negara-negara
di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai
objeknya.
Setiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan perpajakan nasional
sendiri-sendiri atau yang disebut dengan yurisdiksi nasional, yang
masing-masing peraturan perundang-undangan dimaksud memiliki landasan
dan filosofi hukum yang berbeda dengan Negara-negara lainnya.
Dalam rangka melakukan investasi di Negara lain maupun dalam rangka
suatu Negara menerima investasi dari Negara lain pasti akan terjadi
beberapa konflik kepentingan. Sebagai contoh, Indonesia menganut konsep
pengakuan penghasilan, yaitu konsep tambahan kemampuan ekonomis atau
juga disebut world wide income. Artinya peraturan perundang-undangan
pajak penghasilan tidak mempermasalahkan darimana datangnya penghasilan,
bagaimana penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, dan dalam
bentuk apa penghasilan tersebut.
Sehingga ada kemungkinan terjadi
benturan (konflik) dalam pengenaan pajak dengan Negara lainyang menganut
asas pemajakan berbeda dengan Indonesia, nisalnya Negara yang menganut
asas pemajakan kebangsaan (kewarganegaraan). Negara yang menganut asas
kebangsaan tidak mempermasalahkan dari mana penghasilan diterima atau
diperoleh, seseorang tetap diwajibkan membayar pajak di Negara di mana
dia berkebangsaan.
Untuk mengurangi resiko kemungkinan pengenaan pajak berganda sebagai
akibat timbulnya konflik tersebut, maka ada beberapa metode yang biasa
dilakukan, di antaranya:
a. Metode perjanjian pengenaan pajak berganda internasional, yang antara lain dapat dilakukan dengan:
· Traktat yang bersifat multilateral, yakni perjanjian yang dilakukan oleh beberapa Negara dalam suatu perjanjian;
· Traktat yang bersifat bilateral, yakni perjanjian yang menyangkut dua Negara.
b. Metode unilateral atau sepihak
Cara ini ditempuh oleh Negara secara sepihak melauli yurisdiksi
nasionalnya, yakni dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan yang
kemungkinan dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda kedalam
yurisdiksi nasionalnya, misalnya Pasal 24 Undang-Undang Pajak
Penghasilan tentang kredit pajak luar negeri. Tata cara pengkreditan
luar negeri terbagi menjadi dua, yaitu:
· Kredit penuh, yakni pembayaran pajak diluar negeri dikreditkan sebesar jumlah yang dibayarkan di luar negeri; dan
· Kredit terbatas, yakni tata cara pengkreditan pajak yang dibayar di
luar negeri menurut jumlah yang paling rendah antara yang dibayar di
luar negeri dengan jumlah pajak apabila dikenakan menurut tarif di
Indonesia, sebagaimana dianut Pasal 24 Undang-Undang PPh.
c. Metode Pembebasan
Metode ini adalah dengan cara memberikan kebebasan terhadap penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Ada dua cara pembebasan
yang dapat ditempuh, yaitu:
· Memberikan pembebasan sepenuhnya terhadap penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari Negara sumber. Artinya penghasilan dari Negara
sumber tidak dimasukkan dalam perhitungan pajak Negara domisili. Metode
ini juga sering disebut dengan pembebasan penuh atau full exemption;
· Cara pembebasan penghitungan pajak yang terutang hanya atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di dalam negeri, tetapi
menerapkan tarif rata-rata atas seluruh penghasilan, baik dari dalam
negeri atau dari luar negeri, atau disebut juga pembebasan dengan
progresi atau exemption with progression.
Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Untuk memajukan perdagangan antar negara,
mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha
untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi
tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah
dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.
Apakah prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam perpajakan internasional?
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality
(Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak
yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita
berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila
berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena
menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24
yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality
(Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal,
dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau
luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di
suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib
Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau
Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun
kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality: Setiap
negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila
ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan
sebagai biaya pengurang laba.
Mengapa terjadi perpajakan berganda internasional?
Perpajakan berganda terjadi karena
benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya prinsip
perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle)
dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan
pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu,
terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar
negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang
bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal
ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh
negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di
Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang.
Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam
negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila
terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim
seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan
ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di
Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke
rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga
Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk
penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Apa saja upaya untuk menghindari perpajakan berganda internasional?
1. Tax Treaty (Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda/P3B): yaitu perjanjian antara 2 negara untuk
menghindari pajak berganda untuk memajukan investasi antara 2 negara
tersebut. Untuk active income, Biasanya negara sumber hanya berhak
memajaki penghasilan dari cabang (BUT) dan penghasilan dari aset tak
bergerak yang berhasil dari negara sumber tersebut. Bila ekspor-impor
biasa tanpa BUT maka negara sumber tidak bisa memajaki. Penghasilan
pegawai hanya boleh dipajaki bila melewati time-test atau dibayar oleh
WPDN ataupun BUT. Untuk passive income seperti deviden, bunga dan
royalti, kedua negara berhak memajaki namun terdapat pengurangan tarif.
2. Kredit Pajak Luar Negeri: Yaitu
jumlah pajak yang dibayarkan di luar negeri dapat dijadikan pengurang
pajak penghasilan secara keseluruhan. Di Indonesia diatur dalam UU PPh
pasal 24. Dimana kredit pajak luar negeri hanya sebatas: Penghasilan
LN/(Semua penghasilan LN dan DN) x PPh terutang untuk semua penghasilan
Apa saja masalah-masalah dalam perpajakan internasional?
1. Transfer Pricing: Kegiatan ini
adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan
istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat
dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga
pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar,
thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk
mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura
25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A
dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd
meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang,
memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal
bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa
(harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia,
transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus
berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan
DER (Debt Equity Ratio).
2. Treaty Shopping: Fasilitas di tax
treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah memberi
kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana.
Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty
Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat)
dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga
tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah
residen di negara yang menandatangani tax treaty.
3. Tax Heaven Countries:
Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti
tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan
pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven
yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994
antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong,
Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia
internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di
negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara
tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik
berinvestasi pada negara dengan tax treaty.
Analisis Hasil Jurnal
Perpajakan Internasional merupakan alat
untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri dan memajukan perdagangan
antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara,
pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan
dan investasi tersebut. Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus
dipahami dalam Perpajakan Internasional menurut Doernberg (1989)
menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan
perpajakan internasional yaitu Capital Export Neutrality (Netralitas
Pasar Domestik), Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar
Internasional) dan National Neutrality.
Sumber
Prof. Gunadi. 2007. Pajak Internasional. LPFEUI
1 komentar:
Terimakasih artikelnya . . .
ST3Telkom
Posting Komentar