Nama : Rika Andriyanie
NPM : 2A213143
Kelas : 2EB22
Mata Kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Dosen : Tri Damayanti
Tugas 2
Universitas Gunadarma
HUKUM
PERJANJIAN
Ditinjau
dari Hukum Privat
A.
Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini
mengandung unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat
jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum,
karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan.
b. Satu
orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu
perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan
saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut
adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan
dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada
akibat hokum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
B.
Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu
Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan
adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau
kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama
mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan
perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak
hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW).
Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan
tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. Cakap
untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu
perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa,
tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan
orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW
menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang
yang belum dewasa
b. Mereka yang
ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari
perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum
(Pasal 1446 BW).
3. Suatu
hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek
yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal
1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat
menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru
akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang
oleh undang-undang secara tegas.
4. Suatu
sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan
ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal
adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut
subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat
kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan,
mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila
syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, mak perjanjian batal
demi hukum.
Misal:
Dalam melakukan perjanjian pengadaan
barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi
unsur-unsur:
·
TPK sepakat untuk membeli sejumlah
barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan
pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
·
TPK dan supplier telah dewasa, tidak
dalam pengawasan atau karena perundang-undangan, tidak dilarang untuk membuat
perjanjian.
·
Barang yang akan dibeli/disuplai jelas,
apa, berapa dan bagaimana.
·
Tujuan perjanjian jual beli tidak
dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan
sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga
lebih besar dari harga sesungguhnya).
Dari uraian di
atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi
? Ada dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
di atas.
Pasal 1331 (1)
KUH Perdata:
Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau
tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian
tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah
ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan
hakim. Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian
dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan,
maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang
tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan
pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
Kapan perjanjian
mulai dinyatakan berlaku ?
Pada
prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya bahwa
perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak. Misal: Pada saat terjadi musyawarah penanganan masalah, pelaku
menyatakan bahwa ia akan mengembalikan dana tersebut bulan depan. Maka, sejak
ia menyatakan kesediaannya, sejak itulah perikatan terjadi atau berlaku. Bahkan
bila pada saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis. Satu
persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu
pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada
4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi
yaitu:
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2.
Dilakukan pembatalan perjanjian
3.
Peralihan resiko
4.
Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari
pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila
yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan
pembuktian di depan pengadilan. Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian
di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan
membuat surat peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah
SOMASI.
Pedoman
penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1.
Jika kata-kata
dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan dengan
penafsiran.
2.
Jika mengandung
banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak,
dari pada memegang teguh arti katakata
3.
Jika janji
berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji
dilaksanakan
4.
Jika kata-kata
mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras dengan sifat
perjanjian
5.
Apa yang
meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6.
Tiap janji harus
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya
C. Akibat Perjanjian
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak,
akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga
para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak
diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
D. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian
berakhir karena :
a.
ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b.
undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan
hapus;
Peristiwa
tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam
Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana
debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya
kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi,
banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
:
1.
Keadaan memaksa
absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi
perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang,
dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan
memaksa absolut (force majeur) :
a. Debitur tidak
perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. Kreditur
tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari
kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam
Pasal 1460 KUH Perdata.
c. Keadaan
memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih mungkin
untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan
dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan
jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian
yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun,
hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. Pernyataan menghentikan
persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh
salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian
kerja;
e. Putusan
hakim;
f. Tujuan
perjanjian telah tercapai;
g. Dengan
persetujuan para pihak (herroeping).
Kenapa
Diciptakan Hukum Perjanjian?
Dapatkah
Anda membayangkan resiko apa yang akan terjadi pada transaksi pinjam meminjam
apabila tidak ada perjanjian yang jelas? Salah satu kemungkinan yang akan
terjadi adalah salah satu pihak akan mangkir dari tanggung jawab untuk membayar
kewajibannya. Inilah salah satu penyebab mengapa dikeluarkannya hukum
perjanjian.Hukum perjanjian dikeluarkan dengan tujuan agar semua proses
kerjasama yang terjadi dapat berjalan dengan lancar dan untuk mengurangin
resiko terjadinya penipuan atau hal apapun yang beresiko merugikan salah satu
pihak. Peranan hukum disini adalah sebagai pengatur atau sebagai penunduk para
pelaku hukum agar tetap bertindak sesuai peraturan yang telah ditentukan dan
tentunya peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang berlandaskan UUD, contohnya
Pasal 13 ayat 20 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Untuk
Siapa Hukum Perjanjian Di Tujukan?Dan Kapan Terjadinya?
Hukum
perjanjian dilakukan oleh dua pihak yang saling bekerjasama. Ketika merka
sepakat untuk melakukan kerja dengan disertai beberapa syarat (perjanjian) maka
pada saat itu sudah terjadi hukum perjanjian. Sebagai contoh dan untuk
memudahkan dalam penalaran,misalnya pada pasar uang hukum perjanjian dilakukan
oleh kedua belah pihak, yaitu investor dan emiten. Dikeluarkannya hukum
perjanjian adalah untuk melindungi investor dari berbagai resiko yang mungkin
akan terjadi. Hukum perjanjian tidak hanya menyangkut masalah ekonomi. Hukum
perjanjian juga mengatur berbagai kerjasama yang menyangkut dua pihak yang
terkait. Misalnya hubungan antar Negara( bilateral maupun multilateral), pengalihan
kekuasaan,mengatur harta warisan, perjanjian kontrak kerja, perjanjian
perdamaian. Di Indonesia, tidak semua perjanjian yang isinya merupakan
kesepakan murni antara dua belah pihak. Tetapi ada juga beberapa perjanjian
yang didalamnya terdapat campur tangan pemerintah.
Bagaimana
Proses Terjadinya Hukum Perjanjian?
Hukum
perjanjian merupakan suatu yang terbentuk dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang akan terkait didalamnya. Berikut
akan dijelaskan proses terjadinya atau bagaimana terjadinya hukum perjanjian. Berikut
ini akan dijelaskan bagaimana proses terbentuknya hukum perjanjian.
Hukum
perjanjian terbentuk dengan beberapa asas-asas perjanjian.
1) Asas Itikad Baik
Dalam konteks ini,yang dimaksud dengan itikad baik
adalah hukum perjanjian tersebut dibentuk dengan suatu tujuan dapat memberikan
manfaat bagi kedua belah pihak. Yang diharapkan disini adalah kedua belah pihak
memberikan seluruh kemampuan,usaha dan prestasi mereka sesuai dengan yang
tertera di dalam surat perjanjian.
2) Asas Konsensualitas
Dalam konteks ini adalah perjanjian tersebut sudah
dinyatakan sah oleh kedua belah pihak dan bukan merupakan suatu perjanjian yang
bersifat formalitas belaka.
3) Perjanjian Berlaku sebagai Undang-Undang
Dalam konteks ini,maksudnya adalah perjanjian yang
telah dibuat dan sudah disahkan dianggap sebagai acuan yang mengikat kedua
belah pihak untuk bertindak sesuai isi perjanjian.
4) Asas Kepribadian
Dalam konteks ini,maksudnya adalah perjanjian
tersebut dibuat hanya mengaitkan kedua belah pihak saja dan tidak ada pihak
ketiga yang dirugikan akibat perjanjian tersebut.
5) Kebebasan Berkontrak
Menyangkut:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan melakukan
perjanjian
c. Kebebasan untuk menetukan obyek perjanjian
d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
Apabila azas-azas diatas telah terpenuhi, maka
hukum perjanjian dapan dapat dilaksanakan dengan membuat surat perjanjian yang
melampirkan identitas kedua belah pihak dan obyek perjanjian,dan tidak lupa
dilengkapi dengan materai. Apabila obyek perjanjian menyangkut masalah seperti
warisan atau jual beli tanah,maka pengesahannya dilakukan dengan melibatkan
notaries.
Ditinjau
dari Hukum Publik
A.
Pengertian Perjanjian
Dalam Hukum
Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat
ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan
yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.
Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hokum internasional
yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian
Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft
pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional,
diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal
26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April – 22 Mei
1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian
melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani
tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari
1980 dan merupakan hukum internasional positif. Pasal 2 Konvensi Wina
1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu
persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur
oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Pengertian
diatas mengandung unsur :
a. Adanya subjek
hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan
pembebasan. Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang mempunyai
kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum
dalam
Pasal 6 Konvensi
Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat
perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari
negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang
kewenangan organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada
Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun
bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus
diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas
artinya keikutsertaan gerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan
gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b. Rezim hukum
internasional. Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional
dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian
itu dibuat oleh negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk
pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian
internasional.
B.
Syarat sahnya perjanjian
Berbeda dengan
perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya
kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian
naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah,
tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.
Tahapan
pembuatan perjanjian meliputi :
a. Perundingan
dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun
multilateral;
b. Penerimaan
naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari
semua peserta melalui pemungutan suara;
c. Kesaksian
naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal
yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi. Pasal
10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian
atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi.
Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda
tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. Persetujuan
mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara
tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a) Penandatanganan,
Pasal 12
Konvensi Wina menyatakan :
·
Persetujuan negara untuk diikat suatu
perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut;
·
Bila terbukti bahwa negara-negara yang
ikut berunding menyetujui demikian;
·
Bila full powers wakil-wakil negara
menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
b) Pengesahan,
melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang
berwenang di negara anggota.
C.
Akibat Perjanjian
1) Bagi negara
pihak : Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang
berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik
atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ
negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin
pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt
servanda.
2) Bagi negara
lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan
hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa
persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan
bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB
sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan
internasional). Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional
dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka
dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
D.
Berakhirnya perjanjian
(1) Sesuai
dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) Atas
persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) Akibat
peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan
kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum
internasional yang baru, perang.
Referensi :
- Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
- Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
- http://srirahayu-myblog.blogspot.com/
- https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar